Tag: Apa

Apa itu Scopus?

Esaunggul.ac.id, Scopus adalah database jurnal ilmiah yang dikelola oleh perusahaan informasi ilmiah Elsevier. Launched pada tahun 2004, Scopus mengindeks lebih dari 24.000 jurnal ilmiah, konferensi, dan seri buku dari lebih dari 5.000 publisher di seluruh dunia. Beberapa jurnal di Scopus menyediakan akses terbuka secara gratis, sedangkan yang lainnya memerlukan biaya untuk mengakses artikel tersebut.
Scopus memiliki beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh jurnal yang ingin terindeks, seperti memiliki proses review yang ketat, memiliki tim review yang terdiri dari ahli di bidang yang sesuai, dan memiliki akreditasi atau keanggotaan di organisasi jurnal ilmiah terkemuka. Jurnal yang terindeks di Scopus dikenal sebagai jurnal terakreditasi dan memiliki tingkat pengaruh yang dapat dikukur melalui Scrimago Journal Rank (SJR).
Selain menampilkan karya ilmiah, Scopus juga menyajikan data hak paten berbagai penelitian di dunia dan menyediakan layanan untuk menilai suatu jurnal berdampak signifikan atau tidak.
Scopus memiliki sistem penilaian yang dinamakan Scrimago Journal Rank (SJR) untuk mengukur sebuah artikel ilmiah
Cara mengakses jurnal Scopus, Anda dapat melalui layanan akses terbuka (open access) atau menggunakan akses langsung melalui institusi tempat Anda bekerja.

Syarat Jurnal yang Terindeks Scopus
Untuk mengetahui jurnal yang terindeks Scopus, beberapa syarat yang perlu diperhatikan meliputi:
1. Topik Yang Sesuai: Jurnal harus berfokus pada topik yang sesuai dengan bidang ilmu yang dipilih dan relevan dengan kualitas tulisan.
2. Menggunakan Bahasa Yang Standar: Jurnal harus menggunakan bahasa yang standar dan dapat dipahami oleh pembaca internasional.
3. Kebaruan: Jurnal harus memiliki kebaruan yang cukup tinggi untuk menarik perhatian pembaca.
4. Perhatikan Deadline: Jurnal harus menghargai deadline yang ditetapkan oleh jurnal untuk mengirim proposal atau manuscript.
5. Menghindari Plagiarisme: Jurnal harus menghindari plagiarisme dan pastikan kualitas tulisan yang diterbit.
6. Kualitas Tulisan: Jurnal harus memiliki kualitas tulisan yang baik dan bagus, serta benar-benar memperhatikan detail penelitian yang sedang ia tulis.

Selain itu, Anda juga dapat memastikan templating dari jurnal yang Anda buat, karena templating yang ada di dalam jurnal Scopus sangat ketat dan berbeda dengan templating pada jurnal bisa. Selain menggunakan layanan penerbit yang terkemuka, Anda juga dapat mencari sumber pedoman lain untuk membantu menulis jurnal yang sesuai dengan syarat Scopus.

The post Apa itu Scopus? first appeared on Universitas Esa Unggul.

Apa itu Inovasi Teknologi Nyamuk Wolbachia?

Nyamuk Wolbachia

Esaunggul.ac.id, Dalam beberapa hari terakhir ini marak informasi tentang pro kontra penggunaan inovasi teknologi nyamuk Wolbachia di Indonesia. Sebetulnya apa dan mengapa pengembangan teknologi nyamuk Wolbachia ini?
Berikut ini hasil perbincangan dengan Prof. Maksum Radji, pakar Mikrobiologi dan Bioteknologi dari Prodi Farmasi FIKES Universitas Esa Unggul, Jakarta.

Mengawali perbincangan ini Prof Maksum menyampaikan bahwa penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan yang serius di dunia termasuk di Indonesia. Pada tahun 2023, hingga awal November, telah dilaporkan lebih dari 4,5 juta kasus DBD dan lebih dari 4.000 kematian akibat demam berdarah di 80 negara di dunia.
Sedangkan di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI tercapat sebanyak 68.996 kasus DBD hingga Oktober 2023, dengan jumlah kematian sebanyak 498 jiwa.

Lantas apa yang dimaksud dengan teknologi nyamuk Wolbachia?

Prof. Maksum menjelaskan bahwa Wolbachia adalah bakteri yang sangat umum dan terdapat secara alami pada 50 persen spesies serangga, termasuk beberapa nyamuk, lalat buah, ngengat, capung, dan kupu-kupu. Wolbachia aman bagi manusia dan lingkungan. Analisis risiko menunjukkan bahwa pelepasan nyamuk ber-Wolbachia menimbulkan risiko yang dapat diabaikan terhadap manusia dan lingkungan.

Wolbachia hidup di dalam sel serangga dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui telur serangga. Nyamuk Aedes aegypti biasanya tidak membawa Wolbachia, namun banyak nyamuk lainnya yang membawa Wolbachia.

“Metode penanggulangan Demam Berdarah Dengue melalui program Wolbachia ini diinisiasi oleh organisasi World Mosquito Program (WMP) yang telah digunakan di 14 negara sejak tahun 2011, termasuk di Indonesia”, tuturnya.

Bagaimana nyamuk Wolbachia bisa mengurangi populasi nyamuk Aedes aegypti yang membawa virus Dengue?

Prof. Maksum menjelaskan bahwa bakteri ketika nyamuk Aedes aegypti membawa Wolbachia, bakteri tersebut bersaing dengan virus seperti virus demam berdarah Dengue, virus Zika, virus Chikungunya, dan virus demam kuning. Hal ini mempersulit virus untuk berkembang biak di dalam tubuh nyamuk. Sehingga kecil kemungkinan nyamuk menyebarkan virus dari orang ke orang.

“Artinya, ketika nyamuk Aedes aegypti membawa bakteri Wolbachia alami, penularan virus seperti demam berdarah, Zika, chikungunya, dan demam kuning akan berkurang. Wolbachia yang ada di dalam tubuh nyamuk dapat menghambat replikasi virus Dengue atau virus lainnya. Pada nyamuk Aedes aegypti, yang merupakan vektor utama dari virus Dengue menyebabkan nyamuk Aedes aegypti yang membawa bakteri Wolbachia ini tidak dapat menularkan virus Dengue antar manusia melalui gigitannya”, jelasmya.

Tujuan utama proyek ini adalah untuk menurunkan penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD), demam kuning, dan chikungunya, karena keberadaan bakteri Wolbachia dalam nyamuk mampu menghambat replikasi virus Dengue virus Zika dan virus Chikungunya.

“Teknologi nyamuk Wolbachia dilakukan dengan cara meletakkan telur nyamuk yang membawa bakteri Wolbachia di lingkungan tempat tinggal masyarakat, dimana banyak berkembang populasi nyamuk Aedes aegypti yang menjadi vektor utama penularan penyakit DBD. Telur nyamuk yang terdapat bakteri Wolbachia akan menetas menjadi nyamuk dewasa dan berkembang biak”, paparnya.

Prof. Maksum menambahkan bahwa jika nyamuk Aedes aegypti jantan yang memiliki bakteri Wolbachia kawin dengan Aedes aegypti betina lokal tanpa Wolbachia maka virus pada nyamuk betina akan terhambat replikasinya atau mati.
Disamping itu jika yang memiliki Wolbachia itu nyamuk betina kawin dengan nyamuk jantan liar yang tidak memiliki bakteria Wolbachia maka seluruh telurnya akan mengandung Wolbachia. Sehingga dalam beberapa siklus tertentu diharapkan tidak ada lagi berkembang virus Dengue dalam nyamuk Aedes aegypti karena adanya bakteri Wolbachia. Fenomena ini sangat menguntungkan mengingat bahwa hanya nyamuk betina saja yang menggigit dan menghisap darah manusia, sedangkan nyamuk yang jantan tidak.

“Dengan demikian pengembangan nyamuk yang membawa bakteri Wolbachia ini bukanlah merupakan hasil rekayasi genetika dan bukan juga merupakan nyamuk transgenik, karena materi genetik nyamuk tidak diubah”, jelasnya.

Efektifitas Teknologi Nyamuk Wolbachia

Menutur Prof. Maksum pemanfaatan teknologi Wolbachia telah dilaksanakan di beberapa negara antara lain di Brasil, Australia, Vietnam, Fiji, Vanuatu, Mexico, Kiribati, New Caledonia, Singapura, dan Sri Lanka, dimana hasilnya terbukti efektif untuk pencegahan DBD.

Lebih lanjut Prof. Maksum menjelaskan bahwa di Indonesia program nyamuk pembawa bakteri Wolbachia ini pertama kali diteliti dan dikembangkan di Yogyakarta, bekerjasama dengan para peneliti dari UGM. Hasilnya, metode Wolbachia ini terbukti berhasil menurunkan 77% kasus DBD dan menurunkan risiko rawat inap di rumah sakit sebesar 86%.

Kemenkes juga telah mengevaluasi hasil penyebaran nyamuk di Yogyakarta dan menyatakan bahwa cukup bukti untuk memperluas manfaat teknologi nyamuk Aedes aegypti yang membawa bakteri Wolbachi guna melindungi jutaan orang di Indonesia dari DBD.

Menurut Kemenkes teknologi nyamuk pembawa Wolbachia melengkapi strategi pengendalian dan sudah masuk ke Stranas (Strategi Nasional). Melalui Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/1341/2022 tentang Penyelenggaraan Pilot Project Penanggulangan Dengue dengan Metode Wolbachia diimplementasikan di 5 kota lainnya yaitu Kota Semarang, Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Kupang dan Kota Bontang.
Sebelumnya uji coba penyebaran nyamuk ber-Wolbachia telah dilakukan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul pada tahun 2022. Hasilnya, di lokasi yang telah disebar nyamuk ber-Wolbachia terbukti mampu menekan kasus demam berdarah hingga 77 persen, dan menurunkan proporsi dirawat di rumah sakit sebesar 86%.

Prof. Maksum menambahkan bahwa hasil uji coba efektifitas penyebaran nyamuk yang terinfeksi Wolbachia untuk pengendalian demam berdarah telah dipublikasikan pada jurnal internasional yaitu The New England Journal of Medicine. Dengan melansir laman https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/nejmoa2030243#article disebutkan bahwa introgresi bakteri Wolbachia ke dalam populasi nyamuk Aedes aegypti efektif dalam mengurangi kejadian gejala demam berdarah dan mengakibatkan lebih sedikit rawat inap karena demam berdarah di antara para penderita.
“Namun demikian, penggunaan nyamuk dengan Wolbachia ini, bukan berarti menggantikan seluruh upaya pencegahan DBD yang ada. Langkah-langkah sebelumnya masih tetap perlu dijalankan, seperti 3M (menguras, menutup, dan mengubur), fogging sesuai indikasi, dan Gerakan Satu Rumah Satu Juru Jumantik”, tuturnya.

Bagaimana dengan Pendapat masih adanya Keraguan dalam Penerapan Teknologi Nyamuk yang membawa Bakteri Wolbachia ini?

Prof. Maksum mengungkapkan bahwa secara ilmiah keberhasilan metode ini sudah jelas. Namun kontroversi yang muncul adalah karena kesimpang siuran informasi yang beredar di medsos, sehingga menimbulkan kehawatiran di masyarakat.
Khusus tentang kasus penundaan upaya penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Denpasar, Bali telah dijelaskan oleh Kemenkes. Penundaan program di Denpasar, adalah dikarenakan adanya pihak-pihak yang belum mendapatkan informasi secara jelas terkait manfaat inovasi Wolbachia. Kemenkes menyebutkan bahwa memang ada sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat yang cinta Bali bersikeras menunda sebelum semua pihak mendapatkan informasi dan kesiapan yang memadai. Kemenkes menyebutkan penolakan bukan kepada persoalan teknologinya yang telah terbukti efektif dan aman.

Adapun tentang kontroversi lainnya, antara lain yang menyebutkan bahwa teknologi nyamuk pembawa Wolbachia adalah hasil rekayasa genetika, atau mengandung gen LGBT, atau program depopulasi atau upaya untuk mengurangi populasi penduduk di negara tertentu, atau program untuk melacak seseorang dengan menanamkan microchip pada orang melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti pembawa bakteri Wolbachia, ataupun penyebaran nyamuk Aedes aegypti yang membawa bakteri Wolbachia dari udara melalui pesawat terbang, dan info disinformasi lainnya, merupakan info yang tidak tepat, mengingat bahwa program nyamuk pembawa bakteri Wolbachia ini bukan berdasarkan suatu teknologi yang berbasiskan rekayasa genetika, atau teknologi trangenik. Karena tujuan utama dari proyek ini adalah untuk menurunkan penyebaran nyamuk Aedes aegypti pembawa virus Dengue. Sedangkan nyamuknya pun tetap alami, karena materi genetik nyamuk tidak diubah

“Namun demikian, bila penolakan tersebut dimaksudkan dalam rangka kehati-hatian dan guna antisipasi dampak jangka panjang yang ditimbulkannya dapat kita pertimbangkan dengan baik, sebab program ini melibatkan peran serta masyarakat”, pungkasnya mengahiri perbincangan ini.

Penerapan teknologi Wolbachia telah menjadi bagian dari strategi nasional pengendalian DBD di Indonesia. Meskipun teknologi ini terbukti efektif, masyarakat tetap diminta untuk tetap melakukan gerakan 3M Plus, yaitu Menguras, Menutup, dan Mendaur ulang, serta menjaga kebersihan diri dan lingkungan.

https://fikes.esaunggul.ac.id/

Ada Apa dengan Sindrom Nasi Goreng?

Skip to content

Ada Apa dengan Sindrom Nasi Goreng?

Page load link

Go to Top

Apa kata Guru Besar Esa Unggul Tentang Hari Rabies Sedunia 2023

Skip to content

Apa kata Guru Besar Esa Unggul Tentang Hari Rabies Sedunia 2023

Page load link

Go to Top

Apa kata Guru Besar Mikribiologi Esa Unggul Tentang Peringatan Hari Hepatitis Sedunia 2023

Esaunggul.ac.id, Penyakit hepatitis masih merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia termasuk di Indonesia. Hari Hepatitis Sedunia (World Hepatitis Day) diperingati pada tanggal 28 Juli setiap tahunnya guna meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap masalah global virus hepatitis ini dan upaya pencegahannya.
Lantas bagaimana tentang Hari Hepatitis Sedunia tahun 2023 ini, berikut ini rangkuman hasil perbincangan dengan Prof. Maksum Radji, Gurubesar Mikrobiologi, Prodi Farmasi FIKES, Universitas Esa Unggul Jakarta.

Sejarah Hari Hepatitis Sedunia

Apa kata Guru Besar Mikribiologi Esa Unggul  Tentang Peringatan Hari Hepatitis Sedunia 2023

Apa kata Guru Besar Mikribiologi Esa Unggul Tentang Peringatan Hari Hepatitis Sedunia 2023

Menurut Prof. Maksum, dengan melansir laman https://www.edudwar.com/world-hepatitis-day/ peringatan hari hepatitis sedunia ini dimulai ketika berbagai kelompok pasien hepatitis di Eropa dan Timur Tengah memperingati Hari Kesadaran Hepatitis C Internasional pada tanggal 1 Oktober 2004. Selain itu, sejumlah kelompok lain juga merayakan hari Hepatitis pada hari yang berbeda. Berdasarkan pertimbangan akan pentingnya untuk memperingati hari tersebut, maka pada tahun 2008 World Hepatitis Alliance dan kelompok pasien hepatitis mendeklarasikan tanggal 19 Mei sebagai Hari Hepatitis Sedunia yang pertama.
“Kemudian pada bulan Mei 2010 berdasarkan resolusi sidang Majelis Kesehatan Dunia PBB yang ke-63, tanggal 28 Juli dipilih sebagai pengganti 19 Mei untuk diperingati sebagai Hari Hepatitis Sedunia. Hari itu dipilih untuk menghormati Peraih Nobel Baruch Samuel Blumberg, penemu virus hepatitis B, dimana tanggal 28 Juli tersebut merupakan hari ulang tahunnya. Sejak tahun 2011, setiap tanggal 28 Juli diperingati sebagai Hari Hepatitis Sedunia”, ungkapnya.
“Dr. Blumberg telah menemukan dan mengidentifikasi virus hepatitis B pada tahun 1967, dan dua tahun kemudian ia berhasil mengembangkan vaksin hepatitis B yang pertama. Berdasarkan temuan yang luar biasa tersebut Dr. Blumberg mendapatkan Hadiah Nobel dalam bidang Fisiologi atau Kedokteran pada tahun 1976”, tambah Prof.Maksum.

Tema dan makna Hari Hepatitis Sedunia tahun 2023

Menurut Prof. Maksum Hari Hepatitis Sedunia yang diperingati setiap tanggal 28 Juli di seluruh dunia ini merupakan salah satu upaya penting untuk meningkatkan kesadaran tentang berbagai jenis hepatitis dan penularannya, serta memperkuat upaya pencegahan dan pengendalian virus hepatitis, meningkatkan cakupan vaksin hepatitis B dan tanggap global terhadap penyakit hepatitis.
Prof. Maksum menambahkan bahwa dengan melansir laman resmi WHO, tema Hari Hepatitis Sedunia 2023 adalah “One Life, One Liver” yang artinya “Satu Kehidupan, Satu Hati”. Tema ini merupakan ajakan bagi masyarakat agar lebih waspada terhadap hepatitis karena penyakit hepatitis ini dapat menghilangkan satu nyawa dan satu hati yang dimiliki oleh setiap manusia.

Penyakit Hepatitis

Prof. Maksum menjelaskan bahwa hepatitis adalah peradangan hati yang disebabkan oleh beberapa jenis virus dan senyawa lain yang dapat menyebabkan berbagai gejala medis, dimana beberapa di antaranya bisa berakibat fatal. Ada lima galur utama virus hepatitis yaitu tipe A, B, C, D, dan E, yang dapat menyebabkan penyakit hepatitis, “Masing-masing galur virus hepatitis berbeda dalam cara penularan, tingkat keparahan penyakit, distribusi geografis, dan metode pencegahannya. Khususnya virus hepatitis tipe B dan C menyebabkan penyakit kronis dan merupakan penyebab utama kasus sirosis hati, kanker hati, dan kematian akibat virus hepatitis”, paparnya.
Prof. Maksum menambahkan bahwa saat ini diperkirakan sebanyak 354 juta orang di seluruh dunia hidup dengan hepatitis B atau C. Indonesia merupakan salah satu negara dari 20 negara dengan kasus penyakit hepatitis tertinggi di dunia. Secara global prevalensi hepatitis B mencapai 2 miliar kasus. Sebanyak 240 juta di antaranya adalah kronis dan berisiko berkembang menjadi kanker hati. Hepatisis B menyebabkan angka kematian yang tinggi, sekitar 500-700 ribu per tahun.
Mengutip data yang dilansir dari Kemekes RI, Prof. Maksum menyampaikan bahwa sepanjang tahun 2022, sekitar 7,1 persen atau 18 juta masyarakat Indonesia terinfeksi hepatitis B, dimana sekitar 35.757 bayi lahir dengan hepatitis B. Hal ini menunjukkan bahwa risiko penularan virus hepatitis khususnya hepatitis B, C, dan D terjadi secara vertikal langsung dari Ibu ke bayinya sangat tinggi. Selain itu transmisi virus hepatitis B, C, dan D dapat terjadi melalui cairan tubuh (air ludah, cairan sperma), penggunaan alat tindik atau tato, maupun penggunaan jarum suntik tidak steril pada pengguna narkoba. Separuh dari dari jumlah tersebut sangat berisiko menjadi hepatitis kronis.

Gejala Klinis

Menurut Prof. Maksum, umumnya orang yang terinfeksi virus hepatitis A, B, C, D atau E hanya menunjukkan gejala ringan. Namun, setiap galur virus dapat menyebabkan gejala yang lebih parah. Gejala hepatitis A, B dan C antara lain termasuk demam, malaise, kehilangan nafsu makan, diare, mual, urin berwarna gelap dan kulit serta bagian putih mata menguning. Dalam beberapa kasus, virus juga dapat menyebabkan infeksi hati kronis yang nantinya dapat berkembang menjadi sirosis hati atau kanker hati, hingga risiko kematian.
Hepatitis D (HDV) hanya ditemukan pada orang yang sudah terinfeksi hepatitis B (HBV); namun, infeksi ganda HBV dan HDV dapat menyebabkan infeksi yang lebih parah dan prognosis yang lebih buruk, termasuk percepatan perkembangan menjadi sirosis hati.
Gejala klinis Hepatitis E (HEV) dimulai dengan demam ringan, nafsu makan berkurang, mual dan muntah yang berlangsung selama beberapa hari. Beberapa orang dapat mengalami sakit perut, gatal (tanpa lesi kulit), ruam kulit atau nyeri sendi. Mereka mungkin juga menunjukkan penyakit kuning, dengan urin gelap dan tinja pucat, dan gejala pembesaran hati (hepatomegali), atau gagal hati akut.

Upaya Pencegahan dan Pengobatan

Menurut Prof. Maksum, angka kesakitan dan kematian akibat infeksi virus hepatitis sangat tinggi. Oleh sebab itu upaya pencegahan menjadi faktor yang penting.
“Saat ini vaksin hepatitis yang aman dan efektif telah tersedia untuk mencegah virus hepatitis B (HBV). Vaksin ini juga dapat mencegah perkembangan virus hepatitis D (HDV) dan jika diberikan saat bayi lahir dapat mengurangi risiko penularan dari ibu ke anak. Selain itu infeksi hepatitis B kronis dapat diobati dengan senyawa antivirus. Pengobatan dapat memperlambat perkembangan sirosis hati, mengurangi kejadian kanker hati dan meningkatkan kelangsungan hidup. Vaksin untuk mencegah infeksi hepatitis E (HEV) juga tersedia, walaupun saat ini belum tersedia secara luas”, imbuhnya.
Prof, Maksum juga menjelaskan bahwa hepatitis C (HCV) dapat menyebabkan infeksi akut dan kronis. Beberapa orang sembuh dengan sendirinya, sementara yang lain dapat terjadi komplikasi lebih lanjut, termasuk sirosis atau kanker. Obat antivirus dapat menyembuhkan lebih dari 95% orang dengan infeksi hepatitis C, sehingga mengurangi risiko kematian akibat sirosis dan kanker hati. Sedangkan Virus hepatitis A (HAV) merupakan virus hepatitis yang paling umum terjadi di negara-negara yang tingkat sanitasinya kurang baik akibat akses ke sumber air bersih terbatas dan adanya risiko makanan yang terkontaminasi. Vaksin yang aman dan efektif juga tersedia untuk mencegah hepatitis A. Sebagian besar infeksi HAV bersifat ringan, dengan sebagian besar dapat pulih sepenuhnya dan menghasilkan imunitas tubuh terhadap infeksi virus hepatitis A.
“Upaya pencegahan menjadi faktor yang penting pada penyakit hepatitis. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan antara lain dengan cara meningkatkan pola hidup bersih dan sehat, mengonsumsi makanan yang sehat, hindari merokok dan alkohol, serta hindari penggunaan jarum suntik yang tidak steril secara bersama dan program vaksinasi guna mencegah penularan hepatitis dari ibu ke bayinya”, tutup Prof. Maksum, mengakhiri perbincangan ini.

Apa itu Herpes Zoster yang Viral di MEDSOS? Bagaimana Gejalanya?

Apa itu Herpes Zoster yang Viral di MEDSOS? Bagaimana Gejalanya?

Esaunggul.ac.id, Dalam beberapa hari terakhir ini ramai dibicarakan di media sosial tentang gambar atau video seseorang laki-laki mengalami lepuhan atau bintil berair di daerah punggung yang melingkar ke bagian dadanya. Disebutkan bahwa ruam dan lepuhan kecil tersebut adalah Herpes zoster. Bahkan berdar info yang mengatakan bahwa belakangan ini banyak orang yang sedang terkena penyakit Herpes zoster ini. Lantas, apakah herpes zoster, bagaimanakah asal usulnya, apa saja gejalanya dan apakah dapat menimbulkan komplikasi, serta bagaimana pencegahannya?
Berikut ini hasil perbincangan dengan Prof. Maksum Radji, ahli mikrobiologi dari Prodi Farmasi FIKES, Universitas Esa Unggul Jakarta.

Herpes Zoster
Prof. Maksum menjelaskan bahwa Herpes zoster, yang juga dikenal sebagai shingles, cacar ular, atau dampa, disebabkan oleh adanya reaktivasi virus varicella-zoster (varicella zoster virus – VZV). Dalam sejarahnya, virus varicella-zoster ini diisolasi pada tahun 1954 oleh Thomas Weller menggunakan kultur sel, dari cairan vesikular pasien Varicella atau Hepes zoster. Namun, baru pada tahun 1965 Edgar Hope-Simpson menyatakan bahwa Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella-zoster laten yang ada di dalam tubuh seseorang.
Menjawab pertanyaan, mengapa disebut dengan reaktivasi, Prof. Maksum mengungkapkan bahwa karena seseorang yang pernah terserang virus cacar air dapat berkembang menjadi Herpes zoster. Penyakit Cacar air yang disebabkan oleh virus varicella zoster (VZV) yang umumnya terjadi pada masa anak-anak ini dapat tetap hidup atau laten di dalam tubuh seseorang yang telah sembuh.
“Virus varicella-zoster ini bertahan di ganglia saraf sensorik, sehingga pada masa laten ini virus dapat aktif kembali yang mengakibatkan seseorang menderita Herpes zoster. Jadi pada dasarnya, Herpes zoster adalah hasil dari reaktivasi infeksi virus varicella-zoster yang sudah ada di dalam tubuh atau bersifat laten. Selama terjadi infeksi primer, yaitu berupa cacar air (chickenpox), virus varicella zoster dapat bermigrasi dari lesi kulit ke ganglia sensoris kranialis dan spinalis melalui transportasi akson di mana virus ini menetap secara permanen. Dalam bentuk laten ini, replikasinya dapat ditekan oleh sistem kekebalan tubuh hospes, sehingga tidak berkembang. Ketika terjadi reaktivasi, virus varicella zoster dapat turun ke sel epitel kulit melalui akson saraf dan bereplikasi, sehingga menyebabkan infeksi sekunder yang disebut dengan herpes zoster dermatomal”, ucapnya.
Prof. Maksum menambahkan bahwa, reaktivasi biasanya terjadi akibat adanya berbagai faktor, yang antara lain adalah penurunan sistem iminutas tubuh, faktor usia, pengunaan obat imunosupresan, serta stres fisik dan emosional, yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh menurun.

Apa saja Gejala Klinis Herpes Zoster
Menurut Prof. Maksum, Herpes zoster umumnya timbul pada bagian sisi tubuh tertentu, sesuai dengan saraf yang terinfeksi. Adapun gejala yang dapat ditimbulkan, antara lain: nyeri berupa rasa panas seperti terbakar atau tertusuk benda tajam pada ruam yang berupa bintil atau lepuhan berisi air yang gatal. Bintil tersebut akan berkembang menjadi luka lepuh yang mengering menjadi koreng dalam beberapa hari, lalu menghilang secara perlahan. Penderita Herpes Zoster umumnya mengalami demam, nyeri kepala, fotofobia (sensitif terhadap cahaya), dan kelelahan. Gejala klinik biasanya akan mereda setelah 14-28 hari.
“Rasa nyeri biasanya termasuk salah satu gejala awal dari Herpes zoster. Beberapa orang yang mengalaminya dapat merasakan rasa nyeri yang parah sebelum munculnya ruam dan lepuhan pada kulit, sehingga seringkali gejala ini disalah artikan sebagai gangguan fungsi organ lainnya seperti gangguan jantung, paru-paru, atau ginjal”, paparnya.

Komplikasi Herpes Zoster
Menjawab pertanyaan tentang apa saja komplikasi yang terjadi akibat Herpes zoster, Prof. Maksum menguraikan bahwa beberapa komplikasi Herpes zoster antara lain adalah:

  1. Post herpetic neuralgia (PHN). PHN adalah nyeri yang menetap di area awal munculnya ruam setelah lesi sembuh. PHN dapat bertahan selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan dan kadang-kadang dapat bertahan satu tahun atau lebih lama setelah penyembuhan ruam. Risiko seseorang terkena PHN setelah herpes zoster meningkat seiring bertambahnya usia. Orang dewasa yang lebih tua lebih cenderung mengalami rasa sakit yang lebih lama dan lebih parah. Sekitar 10% sampai 18% orang dengan herpes zoster akan mengalami PHN.
  2. Herpes Zoster Ophthalmicus. Herpes zoster yang mempengaruhi saraf mata. Herpes zoster dapat mengakibatkan peradangan pada saraf mata, glaukoma, dan bahkan dapat menyebabkan kehilangan penglihatan.
  3. Disseminated zoster. Zoster diseminata dapat mencakup erupsi kulit umum di mana lesi terjadi di luar dermatom primer atau yang berdekatan. Zoster diseminata ini dapat melibatkan sistem saraf pusat (meningoencephalitis), paru-paru (pneumonitis), dan hati (hepatitis). Zoster diseminata umumnya terjadi pada orang dengan sistem kekebalan yang menurun.
  4. Gangguan pada saraf, misalnya inflamasi pada otak, masalah pada pendengaran, atau bahkan keseimbangan tubuh.
  5. Superinfeksi bakteri pada lesi, biasanya karena bakteri Staphylococcus aureus dan streptococcus beta hemolytic grup A.

Apakah yang disebut dengan Ramsay Hunt Syndrome
Melansir situs https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/6093-ramsay-hunt-syndrome Prof. Maksum menjelaskan bahwa Ramsay Hunt syndrome atau Herpes zoster oticus, terjadi ketika virus varicella-zoster (cacar air) aktif kembali dan menyebar ke saraf wajah di dekat telinga bagian dalam. Selain ruam herpes zoster yang menyakitkan, Ramsay Hunt syndrome dapat menyebabkan kelumpuhan wajah dan gangguan pendengaran di telinga yang terkena. Sindrom ini disebabkan oleh virus yang sama yang menyebabkan cacar air. Setelah cacar air sembuh, virus masih hidup di saraf, dan bertahun-tahun kemudian, dapat aktif kembali. Ketika hal itu terjadi, dapat mempengaruhi saraf wajah dan saraf pendengaran.
“Adapun komplikasi Ramsay Hunt syndrome meliputi, (1). Gangguan pendengaran permanen dan kelemahan wajah. Umumnya, gangguan pendengaran dan kelumpuhan wajah yang terkait dengan sindrom ini bersifat sementara. Namun, bisa juga menjadi permanen. (2). Kerusakan pada mata. Kelemahan saraf wajah yang disebabkan oleh Ramsay Hunt syndrome membuat sulit menutup kelopak mata. Jika ini terjadi, kornea yang melindungi mata bisa mengalami gangguan sehingga dapat menyebabkan sakit mata dan gangguan penglihatan. (3). Neuralgia post herpetik. Kondisi yang menyakitkan ini terjadi ketika infeksi herpes zoster merusak serabut saraf. Pesan yang dikirim oleh serabut saraf ini mengalami gangguan dan menyebabkan rasa sakit yang dapat bertahan lama setelah tanda dan gejala sindrom Ramsay Hunt lainnya hilang”, ungkapnya.

Vaksin Herpes Zoster
Mengutip laman https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/herpes-zoster.html Prof. Maksum menjelaskan bahwa saat ini sudah ada ada dua jenis vaksin yang tersedia, guna mencegah kemungkinan seseorang terkena Herpes zoster.
“Salah satu vaksin, Zostavax, yang merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan telah tersedia sejak tahun 2006. Sedangkan vaksin kedua, Shingrix, merupakan vaksin rekombinan yang diberikan dua dosis secara intra muskular pada lengan atas, telah tersedia sejak tahun 2017. Efektivitas vaksin Shingrix telah terbukti lebih dari dari 90% dalam upaya pencegahan Herpes zoster”, katanya.

Prof. Maksum menambahkan bahwa Herpes zoster adalah reaktivasi dari penyakit cacar air. Cara untuk mengurangi risiko terjadinya herpes zoster adalah dengan mendapatkan vaksin cacar air atau vaksin varicella. Vaksinasi cacar air perlu dilakukan secara rutin pada anak-anak. Selain itu, pemberian vaksin herpes zoster untuk orang berusia di atas 50 tahun juga dianjurkan, guna mengurangi tingkat keparahan gejala dan mempercepat proses penyembuhan Herpes zoster. Semoga Allah senantiasa melindungi kita semua”, pungkasnya menutup perbincangan ini.
***

Lebih Dekat Dengan Jurusan SESA UNJA. Ada 4 Prodi, Apa Saja?

MENDALO,- Jurusan Sejarah, Seni, dan Arkeologi (SESA), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi menggelar Sosialisasi Visi, Misi, Tujuan, dan Strategi Pencapaian di Aula Jurusan SESA, Rabu (17/5/23). Ketua Jurusan Sejarah, Seni, dan Arkeologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi, Dr. Drs. Ade Kusmana, M.Hum., menyampaikan bahwa Sosialisasi Visi, Misi, Tujuan, dan Strategi Pencapaian bagi perguruan tinggi sangatlah penting dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Sosialisasi ini dilakukan agar stakeholder atau pemangku kepentingan, baik internal maupun eksternal yang memiliki keterkaitan dengan jurusan dan perguruan tinggi dapat memahami sekaligus dapat membantu merealisasikan Visi, Misi, Tujuan, dan Strategi dari institusi atau jurusan yang dikembangkan.

Selanjutnya, ia menegaskan agar Visi Misi Jurusan Sejarah, Seni, dan Arkeologi (SESA) yang terdiri dari empat prodi yakni Sastra Indonesia, Ilmu Sejarah, Sendratasik, dan Arkeologi harus dipahami dan dikembangkan untuk kemudian diterapkan bersama. Untuk mencapai hal tersebut tentunya dibutuhkan sosialisasi kepada stakeholder agar ada kesatuan pandangan bagi pemangku kepentingan untuk mewujudkan cita-cita. Semenjak berdirinya Jurusan SESA FKIP Unja kegiatan sosialisasi ini dikatakan sudah dilaksanakan sebanyak tiga kali dengan tujuan agar mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, dan pihak lain yang memiliki keterkaitan dengan Jurusan SESA FKIP Unja ini mampu berkontribusi sehingga dapat mencapai pengembangan seperti yang dicita-citakan.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni FKIP Unja, Dr. Supian, S.Ag., M.Ag., menyampaikan bahwa kegiatan sosialisasi Visi, Misi, Tujuan, dan Strategi ini sangat penting untuk dilakukan karena visi dari program studi merupakan visi keilmuan. Tujuan dari sosialisasi ini yaitu untuk memperkenalkan visi keilmuan jurusan kepada stakeholder termasuk dosen dan mahasiswa serta mitra kerjasama yang dilakukan oleh program studi sehingga visi misi tersebut dapat dikenal lebih mendalam. Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dari seluruh stakeholder sehingga yang menjadi cita-cita bersama dapat diimplementasikan untuk menjadi jurusan yang unggul, terpercaya, dan berjiwa entrepreneur di bidang humaniora pada skala internasional.

Berikut Visi, Misi Tujuan, danStrategi Pencapaian Jurusan Sejarah, Seni, dan Arkeologi (SESA).

Visi:

Menjadi jurusan yang unggul, terpercaya, dan berjiwa entrepreneur di bidang humaniorapada skala internasional

Misi:

  1. Menyelenggarakan pendidikan di bidang seni pertunjukan, kesusastraan,kesejarahan, dan arkeologi, untuk menghasilkan lulusan yang kreatif, kompetitif, danentrepreneurship yang profesional.
  2. Menghasilkan penelitian di bidang seni pertunjukan, kesusastraan, kesejarahan,arkeologi, dan humaniora lainnya, guna menghasilkan karya ilmiah yang unggulpada tingkat nasional dan internasional.
  3. Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat dan memanfaatkan hasil penelitianuntuk menyelesaikan masalah kehidupan masyarakat.
  4. Menjalin kerjasama dengan lembaga terkait dalam rangka meningkatkan mutupendidikan dan,memajukan kebudayaan

Tujuan dan Strategi Pencapaian:

  1. Menguatkan kualitas pendidikan di bidang seni pertunjukan, kesusastraan, kesejarahan, dan arkeologi, untuk menghasilkan lulusan yang kreatif, kompetitif, dan entrepreneurship yang profesional.
  2. Pengembangan penelitian di bidang seni pertunjukan, kesusastraan, kesejarahan, arkeologi, dan humaniora lainnya yang unggul pada tingkat nasional dan internasional.
  3. Pengembangan pengabdian kepada masyarakat di bidang seni pertunjukan, kesusastraan, kesejarahan, arkeologi dan humaniora lainnya yang bersifat solutif dan inovatif.
  4. Peningkatan kerjasama dengan lembaga terkait dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan danmemajukan kebudayaan.

(IRWAN/HUMAS)


Post Views: 130