Nyamuk Wolbachia
Esaunggul.ac.id, Dalam beberapa hari terakhir ini marak informasi tentang pro kontra penggunaan inovasi teknologi nyamuk Wolbachia di Indonesia. Sebetulnya apa dan mengapa pengembangan teknologi nyamuk Wolbachia ini?
Berikut ini hasil perbincangan dengan Prof. Maksum Radji, pakar Mikrobiologi dan Bioteknologi dari Prodi Farmasi FIKES Universitas Esa Unggul, Jakarta.
Mengawali perbincangan ini Prof Maksum menyampaikan bahwa penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan yang serius di dunia termasuk di Indonesia. Pada tahun 2023, hingga awal November, telah dilaporkan lebih dari 4,5 juta kasus DBD dan lebih dari 4.000 kematian akibat demam berdarah di 80 negara di dunia.
Sedangkan di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI tercapat sebanyak 68.996 kasus DBD hingga Oktober 2023, dengan jumlah kematian sebanyak 498 jiwa.
Lantas apa yang dimaksud dengan teknologi nyamuk Wolbachia?
Prof. Maksum menjelaskan bahwa Wolbachia adalah bakteri yang sangat umum dan terdapat secara alami pada 50 persen spesies serangga, termasuk beberapa nyamuk, lalat buah, ngengat, capung, dan kupu-kupu. Wolbachia aman bagi manusia dan lingkungan. Analisis risiko menunjukkan bahwa pelepasan nyamuk ber-Wolbachia menimbulkan risiko yang dapat diabaikan terhadap manusia dan lingkungan.
Wolbachia hidup di dalam sel serangga dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui telur serangga. Nyamuk Aedes aegypti biasanya tidak membawa Wolbachia, namun banyak nyamuk lainnya yang membawa Wolbachia.
“Metode penanggulangan Demam Berdarah Dengue melalui program Wolbachia ini diinisiasi oleh organisasi World Mosquito Program (WMP) yang telah digunakan di 14 negara sejak tahun 2011, termasuk di Indonesia”, tuturnya.
Bagaimana nyamuk Wolbachia bisa mengurangi populasi nyamuk Aedes aegypti yang membawa virus Dengue?
Prof. Maksum menjelaskan bahwa bakteri ketika nyamuk Aedes aegypti membawa Wolbachia, bakteri tersebut bersaing dengan virus seperti virus demam berdarah Dengue, virus Zika, virus Chikungunya, dan virus demam kuning. Hal ini mempersulit virus untuk berkembang biak di dalam tubuh nyamuk. Sehingga kecil kemungkinan nyamuk menyebarkan virus dari orang ke orang.
“Artinya, ketika nyamuk Aedes aegypti membawa bakteri Wolbachia alami, penularan virus seperti demam berdarah, Zika, chikungunya, dan demam kuning akan berkurang. Wolbachia yang ada di dalam tubuh nyamuk dapat menghambat replikasi virus Dengue atau virus lainnya. Pada nyamuk Aedes aegypti, yang merupakan vektor utama dari virus Dengue menyebabkan nyamuk Aedes aegypti yang membawa bakteri Wolbachia ini tidak dapat menularkan virus Dengue antar manusia melalui gigitannya”, jelasmya.
Tujuan utama proyek ini adalah untuk menurunkan penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD), demam kuning, dan chikungunya, karena keberadaan bakteri Wolbachia dalam nyamuk mampu menghambat replikasi virus Dengue virus Zika dan virus Chikungunya.
“Teknologi nyamuk Wolbachia dilakukan dengan cara meletakkan telur nyamuk yang membawa bakteri Wolbachia di lingkungan tempat tinggal masyarakat, dimana banyak berkembang populasi nyamuk Aedes aegypti yang menjadi vektor utama penularan penyakit DBD. Telur nyamuk yang terdapat bakteri Wolbachia akan menetas menjadi nyamuk dewasa dan berkembang biak”, paparnya.
Prof. Maksum menambahkan bahwa jika nyamuk Aedes aegypti jantan yang memiliki bakteri Wolbachia kawin dengan Aedes aegypti betina lokal tanpa Wolbachia maka virus pada nyamuk betina akan terhambat replikasinya atau mati.
Disamping itu jika yang memiliki Wolbachia itu nyamuk betina kawin dengan nyamuk jantan liar yang tidak memiliki bakteria Wolbachia maka seluruh telurnya akan mengandung Wolbachia. Sehingga dalam beberapa siklus tertentu diharapkan tidak ada lagi berkembang virus Dengue dalam nyamuk Aedes aegypti karena adanya bakteri Wolbachia. Fenomena ini sangat menguntungkan mengingat bahwa hanya nyamuk betina saja yang menggigit dan menghisap darah manusia, sedangkan nyamuk yang jantan tidak.
“Dengan demikian pengembangan nyamuk yang membawa bakteri Wolbachia ini bukanlah merupakan hasil rekayasi genetika dan bukan juga merupakan nyamuk transgenik, karena materi genetik nyamuk tidak diubah”, jelasnya.
Efektifitas Teknologi Nyamuk Wolbachia
Menutur Prof. Maksum pemanfaatan teknologi Wolbachia telah dilaksanakan di beberapa negara antara lain di Brasil, Australia, Vietnam, Fiji, Vanuatu, Mexico, Kiribati, New Caledonia, Singapura, dan Sri Lanka, dimana hasilnya terbukti efektif untuk pencegahan DBD.
Lebih lanjut Prof. Maksum menjelaskan bahwa di Indonesia program nyamuk pembawa bakteri Wolbachia ini pertama kali diteliti dan dikembangkan di Yogyakarta, bekerjasama dengan para peneliti dari UGM. Hasilnya, metode Wolbachia ini terbukti berhasil menurunkan 77% kasus DBD dan menurunkan risiko rawat inap di rumah sakit sebesar 86%.
Kemenkes juga telah mengevaluasi hasil penyebaran nyamuk di Yogyakarta dan menyatakan bahwa cukup bukti untuk memperluas manfaat teknologi nyamuk Aedes aegypti yang membawa bakteri Wolbachi guna melindungi jutaan orang di Indonesia dari DBD.
Menurut Kemenkes teknologi nyamuk pembawa Wolbachia melengkapi strategi pengendalian dan sudah masuk ke Stranas (Strategi Nasional). Melalui Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/1341/2022 tentang Penyelenggaraan Pilot Project Penanggulangan Dengue dengan Metode Wolbachia diimplementasikan di 5 kota lainnya yaitu Kota Semarang, Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Kupang dan Kota Bontang.
Sebelumnya uji coba penyebaran nyamuk ber-Wolbachia telah dilakukan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul pada tahun 2022. Hasilnya, di lokasi yang telah disebar nyamuk ber-Wolbachia terbukti mampu menekan kasus demam berdarah hingga 77 persen, dan menurunkan proporsi dirawat di rumah sakit sebesar 86%.
Prof. Maksum menambahkan bahwa hasil uji coba efektifitas penyebaran nyamuk yang terinfeksi Wolbachia untuk pengendalian demam berdarah telah dipublikasikan pada jurnal internasional yaitu The New England Journal of Medicine. Dengan melansir laman https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/nejmoa2030243#article disebutkan bahwa introgresi bakteri Wolbachia ke dalam populasi nyamuk Aedes aegypti efektif dalam mengurangi kejadian gejala demam berdarah dan mengakibatkan lebih sedikit rawat inap karena demam berdarah di antara para penderita.
“Namun demikian, penggunaan nyamuk dengan Wolbachia ini, bukan berarti menggantikan seluruh upaya pencegahan DBD yang ada. Langkah-langkah sebelumnya masih tetap perlu dijalankan, seperti 3M (menguras, menutup, dan mengubur), fogging sesuai indikasi, dan Gerakan Satu Rumah Satu Juru Jumantik”, tuturnya.
Bagaimana dengan Pendapat masih adanya Keraguan dalam Penerapan Teknologi Nyamuk yang membawa Bakteri Wolbachia ini?
Prof. Maksum mengungkapkan bahwa secara ilmiah keberhasilan metode ini sudah jelas. Namun kontroversi yang muncul adalah karena kesimpang siuran informasi yang beredar di medsos, sehingga menimbulkan kehawatiran di masyarakat.
Khusus tentang kasus penundaan upaya penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Denpasar, Bali telah dijelaskan oleh Kemenkes. Penundaan program di Denpasar, adalah dikarenakan adanya pihak-pihak yang belum mendapatkan informasi secara jelas terkait manfaat inovasi Wolbachia. Kemenkes menyebutkan bahwa memang ada sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat yang cinta Bali bersikeras menunda sebelum semua pihak mendapatkan informasi dan kesiapan yang memadai. Kemenkes menyebutkan penolakan bukan kepada persoalan teknologinya yang telah terbukti efektif dan aman.
Adapun tentang kontroversi lainnya, antara lain yang menyebutkan bahwa teknologi nyamuk pembawa Wolbachia adalah hasil rekayasa genetika, atau mengandung gen LGBT, atau program depopulasi atau upaya untuk mengurangi populasi penduduk di negara tertentu, atau program untuk melacak seseorang dengan menanamkan microchip pada orang melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti pembawa bakteri Wolbachia, ataupun penyebaran nyamuk Aedes aegypti yang membawa bakteri Wolbachia dari udara melalui pesawat terbang, dan info disinformasi lainnya, merupakan info yang tidak tepat, mengingat bahwa program nyamuk pembawa bakteri Wolbachia ini bukan berdasarkan suatu teknologi yang berbasiskan rekayasa genetika, atau teknologi trangenik. Karena tujuan utama dari proyek ini adalah untuk menurunkan penyebaran nyamuk Aedes aegypti pembawa virus Dengue. Sedangkan nyamuknya pun tetap alami, karena materi genetik nyamuk tidak diubah
“Namun demikian, bila penolakan tersebut dimaksudkan dalam rangka kehati-hatian dan guna antisipasi dampak jangka panjang yang ditimbulkannya dapat kita pertimbangkan dengan baik, sebab program ini melibatkan peran serta masyarakat”, pungkasnya mengahiri perbincangan ini.
Penerapan teknologi Wolbachia telah menjadi bagian dari strategi nasional pengendalian DBD di Indonesia. Meskipun teknologi ini terbukti efektif, masyarakat tetap diminta untuk tetap melakukan gerakan 3M Plus, yaitu Menguras, Menutup, dan Mendaur ulang, serta menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
https://fikes.esaunggul.ac.id/